Asep Candra | Kamis, 10 Mei 2012 | 07:58 WIB
Jakarta, Kompas - Hipertensi bisa dikendalikan dengan obat dan perubahan gaya hidup. Jika dibiarkan, hipertensi bisa merusak organ tubuh vital.
Demikian benang merah pemaparan Santoso Karo-karo, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, serta Suhardjono, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan dokter ahli ginjal dan hipertensi, dalam pertemuan dengan wartawan, Rabu (9/5) di Jakarta.
Hipertensi ditandai dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Deteksi hipertensi bisa dilakukan dengan pengukuran tekanan darah rutin. ”Paling baik mulai ukur tekanan darah sejak remaja,” kata Santoso.
Santoso mengatakan, tekanan darah hanya bisa diukur dengan alat pengukur. Karena itu, ia meluruskan mitos bahwa peningkatan tekanan darah bisa dirasakan melalui tengkuk yang tegang dan kepala pusing. Menurut dia, gejala itu secara klinis bukan indikator hipertensi. Sakit kepala bisa disebabkan oleh demam atau sakit gigi.
Sering kali hipertensi terjadi tanpa gejala. ”Sebanyak 90-95 persen hipertensi tidak diketahui penyebabnya,” kata dia.
Orang dengan tekanan darah tinggi disarankan segera memeriksakan diri agar mendapat terapi yang tepat. Jika dibiarkan, meski tanpa keluhan, hipertensi bisa merusak organ tubuh vital, seperti ginjal, otak, jantung, dan pembuluh darah sehingga menimbulkan kecacatan, bahkan kematian. Selain itu bisa menyebabkan disfungsi ereksi.
Santoso mengatakan, hipertensi disertai diabetes dan kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kematian karena penyakit jantung koroner dan stroke. Untuk mengurangi faktor risiko, Santoso menyarankan penerapan gaya hidup sehat, seperti menurunkan berat badan, mengonsumsi sayur, buah, dan daging putih, mengurangi konsumsi garam, meningkatkan aktivitas fisik/olahraga, serta mengurangi alkohol.
Menurut Santoso, penurunan tekanan darah 2 mmHg bisa mengurangi 7 persen risiko kematian akibat serangan jantung dan 10 persen risiko kematian akibat stroke.
Untuk tetap sehat, orang normal harus menjaga tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Adapun orang yang sudah memiliki faktor risiko seperti gangguan jantung, diabetes, atau gagal ginjal harus menjaga tekanan darah di bawah 130/80 mmHg.
Data Asosiasi Jantung Amerika menyebutkan, satu dari tiga orang di negara itu mengidap hipertensi. Di Indonesia, angkanya sama. Mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi hipertensi mencapai 31,7 persen. Hipertensi terjadi pada penduduk kaya ataupun miskin. Dari jumlah itu, hanya 7,2 persen yang mengetahui dirinya kena hipertensi dan hanya 0,4 persen yang minum obat.
Suhardjono menyatakan, hipertensi adalah sindrom, yakni kumpulan dari penyakit. Adanya hipertensi menunjukkan pengidap memiliki gangguan kesehatan, seperti pengerasan arteri, disfungsi endotel, gangguan metabolisme glukosa, dan gangguan metabolisme lemak. Pengidap hipertensi yang terkontrol dengan obat perlu terus minum obat.
”Jika obat dihentikan, tekanan darah akan meningkat lagi, bahkan bisa stroke. Hipertensi tidak bisa disembuhkan, hanya dapat dikendalikan,” kata dia.
Ia menekankan, perlunya kedisiplinan pasien untuk minum obat, mengubah gaya hidup agar sehat, menghindari merokok, dan makan makanan sehat. Selain itu, juga rutin kontrol.
Menurut Suhardjono, ada banyak obat hipertensi. Penggunaannya harus sesuai dengan kondisi setiap pasien. Karena itu, pengidap perlu periksa ke dokter untuk dicek kondisinya agar bisa diberi pengobatan yang tepat. (ATK/ICH)
Sumber :Kompas Cetak
Kompas.com : http://health.kompas.com/read/2012/05/10/07584754/Ukur.Tekanan.Darah.Rutin.dan.Ubah.Gaya.Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar